Hari Raya Saraswati
Hari raya
Saraswati adalah hari turunnya Ilmu Pengetahuan. Umat Hindu Dharma di Bali
merayakannya setiap 210 hari sekali pada Sabtu (Saniscara), Umanis (Legi),
Watugunung. Pada hari saraswati dilakukan pemujaan pada Dewi Saraswati sebagai
Dewi Ilmu Pengetahuan dan Seni
Hari Raya Saraswati
sendiri jatuh pada hari terakhir dalam pewukon yang berjumlah 210 hari, hal ini
menandakan bahwa Ida Sang Hyang Widhi Wasa menganugerahkan ilmu pengetahuan
kepada manusia untuk menghadapi siklus yang baru.
Dewi Saraswati adalah
salah satu dari tiga dewi utama dalam agama Hindu, dua yang lainnya adalah Dewi
Sri (Laksmi) dan Dewi Uma (Durga). Saraswati adalah sakti (istri) dari DewaBrahma, Dewa Pencipta. Saraswati berasal dari akar kata SR yang berarti mengalir.
Dalam Regweda V.75.3, Saraswati juga disebut sebagai Dewi Sungai, disamping
Gangga, Yamuna, Susoma dan yang lainnya.
Nama Saraswati tercantum dalam Regweda dan juga dalam sastra
Purana (kumpulan ajaran dan mitologi Hindu). Ia adalah dewi ilmu pengetahuan
dan seni. Saraswati juga dipuja sebagai dewi kebijaksanaan.
Wedanta menggambarkan Saraswati sebagai kekuatan feminin dan
aspek pengetahuan — sakti — dari Brahman. Sebagaimana pada zaman lampau, Beliau
adalah Dewi yang menguasai ilmu pengetahuan dan seni. Para penganut ajaran
Wedanta meyakini, dengan menguasai ilmu pengetahuan dan seni, adalah salah satu
jalan untuk mencapai moksa, pembebasan dari kelahiran kembali
Digambarkan sebagai sosok wanita cantik, dengan kulit halus
dan bersih, merupakan perlambang bahwa ilmu pengetahuan suci akan memberikan
keindahan dalam diri. Ia tampak berpakaian dengan dominasi warna putih,
terkesan sopan, menunjukan bahwa pengetahuan suci akan membawa para pelajar
pada kesahajaan. Saraswati dapat digambarkan duduk atau berdiri diatas bunga
teratai, dan juga terdapat angsa yang merupakan wahana atau kendaraan suci darinya, yang mana semua
itu merupakan simbol dari kebenaran sejati. Selain itu, dalam penggambaran sering
juga terlukis burung merak yang melambangkan keindahan ilmu pengetahuan itu
sendiri.
Angsa merupakan semacam simbol yang sangat populer yang
berkaitan erat dengan Dewi Saraswati sebagai wahana (kendaraan suci), yang juga
melambangkan penguasaan atas Wiweka (daya nalar) dan Wairagya yang sempurna,
memiliki kemampuan memilah susu di antara lumpur, memilah antara yang baik dan
yang buruk. kemampuannya berenang di air tanpa membasahi bulu-bulunya, yang
memiliki makna filosofi, bahwa seseorang yang bijaksana dalam menjalani
kehidupan layaknya orang biasa tanpa terbawa arus keduniawian.
Dewi Saraswati digambarkan memiliki empat lengan yang
melambangkan empat aspek kepribadian manusia dalam mempelajari ilmu
pengetahuan: pikiran, intelektual, waspada (mawas diri) dan ego.
Empat lengan Dewi Saraswati memegang benda yaitu
· Lontar,
adalah kitab suci Weda, yang melambangkan pengetahuan universal, abadi, dan
ilmu sejati
·
Genitri,
melambangkan kekuatan meditasi dan pengetahuan spiritual yang tiada putusnya
·
Wina/kecapi,
alat musik yang melambangkan kesempurnaan seni dan ilmu pengetahuan
·
Damaru
(kendang kecil), yang melambangkan semangat dalam menuntut ilmu
Banyu Pinaruh – Saat yang Tepat untuk
Melukat di Pancuran Sapta Gangga Gunung Salak
Hari Banyu Pinaruh jatuh pada hari Redite Paing Shinta, yaitu
tepat sehari setelah Hari Raya Saraswati. Secara filosofis, Banyu Pinaruh
berarti pembersihan diri dengan menggunakan air suci ilmu pengetahuan. Dimana
kegiatan pembersihan diri itu bisa dilakukan di sumber mata air, pantai atau di
Griya Sang Sulinggih. Pembersihan diri ini juga berarti membersihkan secara
niskala/rohani, yang dilakukan dengan jalan melaksanakan Tri Kaya Parisudha.
Banyu Pinaruh, berasal dari kata banyu (air) dan pinaruh atau
pangewuruh (pengetahuan).
Banyu Pinaruh juga bermakna menyucikan pikiran dengan
menggunakan air ilmu pengetahuan, sebagaimana diuraikan dalam pustaka
Bagavadgita sebagai berikut: ”Abhir
gatrani sudyanti manah satyena sudayanti.”
Artinya, badan dibersihkan dengan air sedangkan pikiran
dibersihkan dengan ilmu pengetahuan
Hal ini sangat penting untuk diperhatikan dan dilaksanakan,
karena sangat diperlukan sebelum kita belajar ilmu pengetahuan yang sudah
diturunkan pada hari sebelumnya yaitu pada Hari Raya Saraswati.
Bagavadgita IV.36 yang berbunyi:
”Api ced asi papebhyah,
sarwabheyah papa krt tamah, sarwa jnana peavenaiva vrijinam santarisyasi.”
Artinya, walau engkau paling berdosa di antara manusia yang
memiliki dosa, dengan perahu ilmu pengetahuan, lautan dosa akan dapat engkau
seberangi.”
Mengacu pada hal tersebut di atas maka umat terutama generasi
muda harus memaknai Saraswati dan Banyu Pinaruh sesuai dengan hakikatnya. Malam
Saraswati mesti dimaknai dengan baik, melalui pembacaan sastra dan diskusi
(dharmatula) tentang ajaran agama, di tempat yang memungkinkan untuk itu.
Keesokan paginya dilanjutkan dengan pelaksanaan Banyu Pinaruh.
Pada saat Banyu Pinaruh umat melaksanakan suci laksana, mandi
dan keramas menggunakan air kumkuman di segara. Kegiatan itu bertujuan untuk
ngelebur mala karena pada dasarnya segara itu merupakan tempat peleburan dasa
mala. Dengan melakukan prosesi itu diharapkan terjadi keseimbangan lahir dan
batin.
Untuk memenuhi kebutuhan pembersihan diri secara sekala
niskala, maka di Pura Gunung Salak sudah di bangun tempat untuk melukat yang
disebut dengan Pancuran Sapta Gangga (baca: Lokasi Pancuran Sapta Gangga Gunung Salak).
Menurut Jro Mangku Istri Made Sadnya, Pancoran Sapta Gangga
di bangun berdasarkan pewisik yang diterima beberapa orang akan perlunya tempat
penyucian diri untuk pemedek Pura Gunung Salak. Maka dengan kondisi yang serba
terbatas, dialirkanlah air yang berasal dari Puncak Gunung Salak ke suatu
tempat yang dipugar dan di beri nama Pancuran Sapta Gangga. Mangku Wayan Contok
dari Tampaksiring ikut ngayah dengan menghaturkan Pancuran dan Arca Dewi Gangga
yang di pasang di area pembersihan tersebut. Sengaja Pancuran di desain agar
menyerupai Tirta Empul di Tampaksiring Gianyar Bali.
Tepat pada saat piodalan Pura Gunung Salak yang jatuh pada
Purnamaning ke tiga yaitu tanggal 19 September 2013, dengan dipuput oleh Ida
Pedanda Panji Sogata dari Griya Lenteng Agung, maka Pancuran Sapta Gangga
dipelaspas dan mulai digunakan oleh semua golongan untuk pembersihan diri.
Jro Mangku Istri lebih lanjut menambahkan bahwa Pancuran ini
sengaja di bangun demi kepentingan umat manusia, tanpa memandang golongannya
dipersilahkan untuk membersihakn diri di tempat tersebut. Dan terbukti, umat
berbondong-bondong dating Pancuran tersebut untuk melakukan pembersihan diri.
Lebih lanjut ditambahkan bahwa segala macam Tirta dari
penjuru Nusantara juga sudah bercampur di Pancuran tersebut, jadi disamping
sebagai sarana penyucian diri, Pancuran Sapta Gangga juga untuk nunas Wangsuh Pada
Ida Sesuhunan dari seluruh penjuru
Nusantara.
Pancuran Sapta Gangga bisa dicapai melalui Pura Pasar Agung
& Melanting Gunung Salak. Jalan menuju ke lokasi sudah dibangun dengan
sangat baik yang dananya berasal dari Dana Punia umat sekalian.
Hari Banyu Pinaruh yang akan jatuh pada hari Minggu tanggal 5
September 2014 atau sehari setelah hari Raya Saraswati, merupakan momen yang
tepat untuk pembersihan diri di Pancuran Sapta Gangga.
0 komentar:
Posting Komentar